Seharian aku menunggu kabar darinya tapi tetap sama tak kunjung adanya. Iya benar dia pergi.
Ya, pria yang selalu berkelahi denganku sekaligus pria kesayanganku itu telah pergi.
Kulihat cincin pemberian Abit, dan bangku disebelahku yang kosong. Aku kehilangan Abit.
Entah sudah berapa lama aku menunggu kabar Abit.
Segala bayangan tentangnya berotasi diotakku malam ini. Tentang Abit, Abit dan selalu saja Abit. Urusan mengenang ini bisa berlangsung berjam-jam jika aku tak menghentikannya sekarang, aku tahu.
Diam-diam aku mulai menangis. Mungkin menangis itu benar, karena aku sudah lama tidak menangis, sementara aku begitu sesak, dan mungkin menangis bisa membersihkan debu-debu hati. Tapi kenapa harus mengingat itu? Abit... Cinta pertamaku kenapa harus begini?
Ketika akhirnya teleponku berbunyi, aku menyeka air mata.
Menatap layar, telepon dari nomor tak dikenal. Aku mengangkatnya.
“Hei,” suara yang akrab. Tetapi bukan dia, tentu saja bukan abit.
"Iyaa, ini siapa?"
"Arkan, kau lupa?"
Aku terdiam, mencoba mengingat-ingat.
"Teman masa kecilmu Reviesa" jelasnya
"Ohh iyaiya aku ingat haha maaf kamu apa kabar?"
"Hahaha aku baik, kamu sendiri gimana?"
"Aku juga baik, keluarga kamu di Batam juga baik kan?"
"Iyaa, mereka semua baik Rev. Keluargamu sendiri bagaimana? Udah lama banget kita ngga ketemu"
"Syukurlah kalo mereka baik, keluargaku juga baik. Iya kira-kira sepuluh tahun yang lalu kita masih main ayunan di taman komplek haha"
"Iya, dan makan es krim stroberi kesukaanmu, Rev"
Aku terdiam sejenak mendengar kalimat itu “Iya, es krim stroberi. Hey! Kapan kamu main ke tangerang?"
“Belum tau, memang kenapa? Kangen ya?" Terdengar tawa renyah milik Arkan yang sudah familiar di telingaku. Dia sama sekali nggak berubah.
"Hahaha kamu kali yang kangen sama aku."
"Iya, Rev, kangen pake banget. Kamu udah tinggi belom? apa masih pendek? hahaha"
“Ngeledek ya kamu, enak aja aku udah agak lebih tinggi sekarang. kamu sendiri masih keriting ngga?"
"syukurlah kalo sekarang udah tinggi, eits jangan salah yaa rev sekarang aku memang masih keriting tapi tetap tampan seperti dulu, bahkan lebih tampan, hati-hati kamu nanti bisa naksir sama aku. hahaha"
Renyah tawanya menghangatkan hatiku. Setelah mendengar tawanya, memory masa kecilku terulang kembali di dalam otakku. sebuah taman,bangku berwarna merah, ada arkan disana, ada Moli anjing milik Arkan dan ada sekotak es krim stroberi ditangan kami masing-masing. es krim stroberi..."
“Kok diem? Hey, Revisha," suara Arkan membuyarkan lamunanku. "aku bercanda kok rev hehe"
“hahaha iya aku tau, aku tidak akan menyukaimu arkan keriting.. hahaha.”
“yakin rev? kalo kamu nanti tiba-tiba naksir aku gimana?”
“aku ngga akan naksir kamu kecuali rambut kamu lurus hahaha” Candaku padanya di telepon genggam.
“Yaah.... gitu ya? tapi rambut aku kan sudah takdirnya keriting rev.”
”hahaha yaudah biarin aja keriting Arkananta.... eh udah dulu ya, tugas masih numpuk nih"
“oke deh, nomor aku disave yaa. Dan selamat belajar rev... Salam buat keluarga kamu disana.”
“Iya, nanti aku sampein. Salam juga, ya untuk tante dan om!”
"Oke, bye.”
“Bye.”
Tuutt...tuut...tuutt....
Aku memandang ponsel di telapak tanganku dan menghelas napas. Andika Arkananta, teman masa kecilku. Si laki-laki berambut ikal yang tidak pernah absen di hari-hari sekolah dasarku. Dia teman yang baik, ngomong-ngomong.
Aku meletakkan ponsel di atas meja dan berniat untuk kembali mengerjakan tugas jika saja mataku tidak menangkap benda kecil berbentuk lingkaran yang ada di jemariku. Cincin Abit. Tepat setelah aku melihat benda itu, berjuta-juta rasa sakit datang menghantamku. Ini bukan seperti tikaman tajam, namun ini seperti sejuta sayatan di setiap inci tubuhku. Aku seperti orang dungu yang mengharapkan ketidakpastian tidak berujung. Tidak nyata. Palsu.
Ketika sedih, es krim stroberi teman setiaku. Tapi sejak aku makan es krim berdua dengan Abit, aku jadi selalu ingin bersama Abit ketika makan es krim.
Aku benci berandai-andai tapi malam ini aku sangat ingin berandai-andai abit disampingku, menemaniku seperti biasanya. Canda tawanya, sikap jahilnya membuatku rindu. Aku ingin bertemu dengannya meskipun hanya untuk malam ini. Nyatanya hingga tengah malam tak ada kabar darinya sama sekali. Tak sedikitpun pesan masuk melalui ponsel genggamku, apalagi dering telepon. Abit berbohong! Abit mengingkari janjinya.
Aku lelah berharap seperti ini. Rasanya aku harus berhenti mengharapkannya, namun bayangannya tak pernah hilang dari anganku. Selalu berotasi dalam pikiranku, layaknya tata surya tak pernah berhenti dalam rotasi galaxy. Kini aku memutuskan untuk berhenti berharap, Abit takkan kembali, Abit takkan menghubungiku. Aku sudah muak mendengar namanya dan semua kebohongannya. Bahkan jika aku ahli matematika, aku rasa aku tak dapat menghitung berapa banyak air mataa yang telah terbuang untuk menangisinya selama beberapa hari terakhir ini. Selamat tinggal Abit, aku sudah lelah menunggu ketidakpastian ini, aku akan berhenti mengharapkanmu. Mungkin ada pengganti aku disana.
Created by: @iu_atasna
Editor: Erik D (http://erikdarmawann.blogspot.com)
Source image: Google
0 comments:
Post a Comment